Apakah Engkau Marah Kepada Tuhan?

Saya percaya bahwa tidak ada yang lebih berbahaya bagi seorang Kristen selain daripada terus menerus membawa kepahitan dan amarah terhadap Tuhan. Namun justru saya menemui bertambahnya orang percaya yang mengalami hal ini. Mungkin mereka tidak mengakuinya - namun jauh di kedalaman hati, mereka menyimpan semacam rasa jengkel kepadaNya. Mengapa demikian ? Karena mereka meyakini bahwa Allah tidak mempedulikan - untuk menjawab suatu doa permohonan mereka, maupun bertindak menolong mereka.

Saya baru saja menerima surat dari seorang pemuda yang berada dalam tahanan sebuah penjara di daerah Selatan. Pemuda ini tadinya adalah seorang Kristen yang setia - namun kini ia mengatakan bahwa ia marah kepada Tuhan. Demikian isi suratnya :

"Saya seperti berada dalam neraka - dan saya percaya Tuhan akan membiarkan saya di sini! Dahulu saya berniat mengikuti Kristus dengan segenap hati. Namun ada suatu dosa yang menguasai saya - dosa sexual. Saya telah berusaha bertobat, tapi tidak berhasil. Saya membaca Alkitab, mempelajarinya dan berdoa - namun tidak juga berhasil. Dosa ini selalu memegang kendali atas saya. Dan akibatnya kini saya meringkuk di penjara untuk waktu yang lama. Saya sudah menyerah dalam peperangan rohani ini. Nampaknya tidak berguna untuk terus berusaha. Allah melepaskan saya dari obat bius dan alkohol saat saya baru menjadi Kristen. Namun mengapa Ia tidak membuang nafsu sexual saya?"

Setiap halaman surat tersebut berisi ungkapan hati yang pahit terhadap Allah. Ia mengijinkan kepahitan hatinya berkembang menjadi amarah yang meluap.

Saya menemukan amarah serupa di antara beberapa hamba Tuhan dalam banyak denominasi. Mereka menjadi kecewa dan marah kepada Tuhan - dan kini mereka berjalan menjauhi panggilan mereka. Jika saudara bertanya apa sebabnya, mereka menjawab :

"Tadinya saya setia dan sungguh-sungguh - yang terbaik saya berikan. Tapi semakin giat saya berusaha, makin tidak ada hasilnya. Jemaat saya kurang memiliki penghargaan. Doa-doa yang saya panjatkan nampak sia-sia. Untuk hal tertentu, apa yang saya khotbahkan nampak munafik, sebab itu tidak terjadi dalam hidup saya. Kini saya meninggalkan pelayanan hingga nanti saya pertimbangkan kembali."

Saya telah mempelajari bertahun-tahun bahwa jarang hamba Tuhan seperti ini yang pernah kembali dipulihkan. Mengapa? Karena mereka mempertahankan kejengkelan kepada Tuhan dalam hati mereka. Mereka berkata ,"Saya melakukan segalanya dengan benar. Namun hasilnya tidak seperti yang saya harapkan. Saya setia kepadaNya - namun Ia meninggalkan saya dalam kegagalan.

Beberapa waktu lalu saya membaca sebuah biografi penginjillan berjudul Aggie - saya membacanya tanpa henti hingga habis. Ceritanya sangat mencekam. Kisahnya menggambarkan dengan jelas pengaruh yang merusak dari hati seorang anak Tuhan yang kesal. Berikut ringkasan cerita tersebut :

Pada tahun 1921, dua pasangan suami-istri dari Stockholm, Swedia, menjawab panggilan Allah untuk melayani misi penginjilan di Afrika. Dalam suatu kebaktian pengutusan Injil, kedua pasangan suami-istri ini terbeban untuk melayani ke Belgian Congo, yang sekarang dinamai Zaire. Mereka adalah anggota jemaat Philadelphia Pentecostal Church, yang mengirimkan missionaris ke seluruh dunia.

Mereka bernama David dan Svea Flood dan Joel dan Bertha Erickson. Svea Flood hanya memiliki tinggi 142 cm (4 feet, 8 inch) dan ia adalah seorang penyanyi yang terkenal di Swedia. Namun kedua pasangan ini telah menyerahkan seluruh hidupnya untuk memberitakan Injil.

Saat tiba di Belgian Congo, mereka melapor ke kantor misi setempat. Mereka memperlengkapi dengan seperangkat pisau dan parang. Dengan parang mereka membuka jalan melalui hutan pedalaman Congo yang dipenuhi sarang nyamuk. David dan Svea mempunyai seorang anak laki berusia 2 tahun bernama David Jr. Anak ini digendong pada punggung mereka. Dalam perjalanan mereka diserang malaria. Namun dengan semangat pantang menyerah dan kerelaan untuk mati buat Tuhan, mereka berjalan terus.

Tibalah mereka di suatu desa di pedalaman. Namun mereka terkejut mendapati bahwa penduduk di situ tidak mengijinkan mereka masuk. "Tak seorang kulit putih pun boleh masuk ke mari, dewa-dewa kami akan marah", demikian kata mereka. Maka pergilah kedua keluarga itu ke desa berikutnya - namun penolakan yang sama juga mereka alami.

Mereka tidak menemukan desa lagi. Karena lelah mereka terpaksa harus tinggal di situ. Di tengah hutan di pegunungan mereka membersihkan tempat tersebut dengan memotong pohon-pohon. Lalu mereka membangun tempat tinggal berupa gubug dari lumpur.

Beberapa bulan mereka tinggal di sana, mereka menderita kesepian, penyakit dan kekurangan gizi. Si kecil David Jr. jatuh sakit. Selain itu mereka jarang sekali berhubungan dengan penduduk desa-desa di sekitarnya.

Setelah 6 bulan, Joel dan Bertha Erickson memutuskan untuk kembali ke kantor missi. Mereka mengajak keluarga Flood untuk turut, namun Svea tak mampu kembali karena ia baru saja hamil. Dan saat itu malaria yang ia derita memburuk. Selain itu David, suaminya berkata, "Aku mau anakku dilahirkan di Afrika. Aku datang kemari untuk memberikan hidupku di sini untuk pelayanan." Akhirnya keluarga Flood memberi salam perpisahan pada keluarga Erickson yang akan menempuh jarak 100 mile untuk kembali.

Selama beberapa bulan Svea bertahan melawan demam yang hebat. Namun dengan setia ia selalu memberikan bimbingan rohani pada seorang anak kecil yang merupakan penduduk dari sebuah desa di daerah itu. Anak laki-laki itulah satu-satunya yang dimenangkan, bertobat dan mengenal Injil melalui keluarga Flood. Ia sering membawa buah-buahan kepada keluarga itu. Dan saat Svea melayani dia, ia hanya tersenyum kepadanya.

Penyakit malaria yang diderita Svea makin memburuk dan ia hanya dapat berbaring. Tiba saatnya untuk melahirkan, ternyata ia berhasil melahirkan seorang bayi perempuan yang sehat. Namun hanya seminggu Svea mampu bertahan. Pada saat terakhir ia berbisik ke David, "Berikan nama Aina untuk anak kita." Lalu ia meninggal.

David Flood sangat terpukul dengan meninggalnya istrinya. Dengan memaksakan tenaga, ia mengambil sebuah kotak dari kayu dan membuat sebuah peti jenazah untuk Svea. Lalu ia menguburkan istrinya tercinta dalam sebuah kubur yang amat sederhana di pegunungan Saat ia berdiri di samping kubur, ia memandang ke anak laki-lakinya di sampingnya. Lalu sebuah tangisan dari putrinya yang masih bayi terdengar dari dalam gubugnya yang terbuat dari lumpur

Dan tiba-tiba timbullah suatu kekecewaan yang pahit dalam hatinya. Lalu suatu amarah dalam hatinya - yang tak sanggup dikontrolnya. Dengan emosi ia berseru, "Tuhan, mengapa kau ijinkan hal ini terjadi? Bukankah kami datang kemari untuk memberikan hidup kami bagi pelayanan untuk Engkau! Istriku yang cantik dan pandai, sekarang telah tiada saat berumur 27 tahun."

"Sekarang anakku berusia 2 tahun hampir tidak mampu kuurus, belum lagi si kecil yang masih bayi. Setelah lebih dari setahun dalam hutan ini, yang kami dapat menangkan dari desa kecil ini hanyalah seorang anak laki kecil yang mungkin tidak memahami berita Injil yang kami ceritakan. Kau telah mengecewakan aku, Tuhan. Betapa sia-sianya hidupku"

Kemudian David Flood menyewa beberapa penduduk asli sebagai pengenal jalan dan membawa kedua anaknya ke kantor misi. Saat bertemu dengan keluarga Erickson, ia berseru dengan kejengkelan, "Saya pulang! Saya tidak mampu lagi mengurus anak-anakku sendiri. Akan saya bawa pulang anakku laki-laki ke Swedia - tetapi akan kutinggalkan anakku yang perempuan kepadamu." Kemudian ia melepaskan Aina untuk dibesarkan oleh keluarga Erickson.

Sepanjang perjalanan kembali ke Stockholm, David Flood berdiri di atas dek kapal. Ia sangat kesal kepada Allah. Ia menceritakan kepada semua orang pengalaman pahitnya, bahwa ia pergi ke Afrika untuk menjadi seorang martir - untuk memenangkan jiwa bagi Kristus, tidak peduli berapa besar pengorbanan yang harus diberikan. Namun kini berakhir dengan kekalahan dan kegagalan. Ia yakin bahwa ia sudah berlaku setia - tetapi Allah telah membalasnya dengan tidak mempedulikannya.

Setelah tiba di Stockholm ia memutuskan untuk memulai usaha dalam bidang import. Ia mengingatkan semua orang untuk jangan menyebut nama Tuhan di dapannya. Jika mereka melakukannya, segera ia naik pitam dalam kemarahan. Akhirnya ia jatuh ke dalam kebiasaan minum minuman keras.

Tidak lama setelah ia meninggalkan Afrika, suami-istri Erickson meninggal dengan tiba-tiba, kemungkinan karena racun yang diberikan oleh pemimpin suku daerah. Si kecil Aina lalu diasuh oleh sepasang keluarga Amerika yang saya kenal, bernama Arthur dan Anna Berg. Keluarga ini membawa Aina ke sebuah desa bernama Massisi di sebelah Utara Congo. Di sana ia dipanggil dengan nama "Aggie". Si kecil Aggie segera belajar bahasa Swahili dan bermain dengan anak-anak Congo.

Pada saat sendiri Aggie sering bermain dengan khayalan. Ia membayangkan memiliki 4 saudara laki dan seorang saudara perempuan. Lalu diberinya nama kepada mereka. Ia menyediakan meja untuk berbicara kepada saudara-saudara khayalannya. Dalam khayalan ia menganggap saudara perempuannya terus memandang dirinya.

Ketika keluarga Berg mengambil cuti ke Amerika, mereka membawa Aggie bersama mereka ke daerah Minneapolis. Ternyata lalu mereka menetap di sana. Aggie menjadi dewasa dan menikah dengan seorang bernama Dewey Hurst, yang kemudian menjadi presiden dari sekolah Alkitab Northwest Bible College, dari gereja the Assemblies of God di Minneapolis.

Aggie tidak pernah mengetahui bahwa ayahnya telah menikah lagi - dengan adik Svea, yang tidak mengasihi Allah. Dan sekarang ia memiliki 5 anak selain Aggie - 4 putra dan seorang putri (tepat seperti dalam khayalan Aggie). Dan David Flood benar-benar menjadi peminum berat dan penglihatannya sangat parah.

Selama empat puluh tahun Aggie berusaha mencari ayahnya - namun surat-suratnya tidak pernah terjawab. Akhirnya, sekolah Alkitab memberinya dan suaminya tiket pulang pergi ke Swedia. Ini merupakan kesempatan baginya untuk mencari ayahnya.

Setelah menyeberangi Lautan Atlantik, pasangan ini melewatkan 1 hari mampir di London. Mereka memutuskan untuk berjalan kaki di dekat Royal Albert Hall. Di tengah jalan mereka bersuka cita ketika melihat sedang diadakannya suatu pertemuan penginjilan dari Pentecostal Assemblies of God. Mereka masuk dan mendengar seorang pengkhotbah berkulit hitam yang sedang menyaksikan bahwa Tuhan sedang melakukan pekerjaan-pekerjaan yang besar di Zaire, yaitu Belgian Congo!

Hati Aggie terperanjat. Setelah acara selesai, ia mendekati pengkhotbah tersebut dan bertanya, "Pernahkan Anda mengetahui penginjil bernama David dan Svea Flood?" Ia menjawab, "Ya. Svea Flood adalah orang yang membimbing saya kepada Tuhan waktu saya masih kanak-kanak. Mereka memiliki seorang bayi perempuan, tetapi saya tidak tahu bagaimana keadaannya kemudian." Aggie segera berseru, "Sayalah gadis itu! Saya adalah Aggie, - Aina!"

Mendengar hal itu, pengkhotbah berkulit hitam tersebut segera menggenggam tangan Aggie dan memeluk sambil menangis dengan sukacita. Aggie hampir tak dapat mempercayai bahwa orang ini adalah bocah yang telah dilayani oleh ibunya. Ia telah tumbuh menjadi seorang penginjil melayani bangsanya di Zaire - dan pekerjaan Tuhan berkembang dengan pesat, yang kemudian berkembang dengan 110.000 orang Kristen, 32 pos penginjilan, beberapa sekolah Alkitab dan sebuah rumah sakit dengan 120 tempat tidur.

Esok harinya Aggie dan Dewey meneruskan perjalanan ke Stockholm - dan berita sudah tersebar bahwa mereka akan datang. Dan Aggie sudah mengetahui bahwa ia benar-benar memiliki 4 saudara pria dan seorang saudara wanita. Dan ia sangat terkejut saat tiba di hotel, ternyata 3 saudara prianya menyambutnya di hotel. Ia bertanya kepada mereka, "Dimanakah David kakak ku?" Mereka lalu menunjuk ke arah seorang yang duduk sendiri di lobby. David Jr. adalah pria yang nampak kering-lesu dan berambut putih. Seperti ayahnya, iapun dipenuhi oleh kekecewaan dan kepahitan dan hidupnya berantakan karena alkohol.

Ketika Aggie menanyakan keadaan ayahnya, ia menjadi marah. Semua saudaranya membenci ayahnya dan sudah bertahun-tahun tidak berbicara dengannya.

Lalu Aggie bertanya, "Bagaimana dengan saudaraku perempuan?" Lalu Mereka memberinya sebuah nomor telepon. Aggie segera meneleponnya. Terdengar suara saudaranya - tetapi saat Aggie memberitahu siapa dirinya, tiba-tiba suara telpon terputus. Aggie mencoba menelpon kembali namun tidak ada yang mengangkat.

Tak lama kemudian, ternyata saudara perempuannya datang ke hotel itu dan memeluk Aggie. Ia berkata, "Sepanjang hidupku aku telah merindukanmu. Biasanya aku membuka peta dunia dan menaruh sebuah mobil mainan berjalan di atasnya, seolah-olah aku sedang mengendarai mobil itu untuk mencarimu ke mana-mana."

Saudara perempuan Aggie ini juga telah menjauhi ayahnya, David Flood. Namun ia berjanji membantu Aggie untuk menemukannya. Maka mereka menuju suatu daerah miskin di Stockholm. Mereka memasuki sebuah bangunan yang tidak terawat. Setelah mengetuk pintu datanglah seorang wanita mempersilakan mereka masuk.

Di dalam ruangan tampak banyak botol-botol minuman keras di mana-mana. Dan di sudut nampak seorang terbaring di ranjang kecil, yaitu ayahnya - yang dulunya adalah seorang penginjil - David Flood. Ia berumur 73 tahun dan menderita diabetes. Ia juga menderita stroke, dan katarak menutupi kedua belah matanya.

Aggie jatuh di sisinya dan menangis, "Ayah, aku adalah putrimu yang kecil - yang kau tinggalkan di Afrika." Sesaat orang tua itu menoleh dan memandangnya. Air mata membasahi matanya. Lalu ia menjawab, "Aku tak pernah bermaksud membuangmu. Aku hanya tidak mampu mengurus kalian berdua." Aggie menjawab, "Tidak apa-apa, Ayah. Allah telah memelihara aku."

Tiba-tiba, wajah ayahnya menjadi gelap. "Allah tidak memeliharamu!", ia mengamuk. "Ia telah menghancurkan seluruh keluarga kita! Ia membawa kita ke Afrika lalu meninggalkan kita. Tak ada satupun hasil di sana. Semuanya sia-sia belaka!"

Aggie kemudian bercerita tentang pengkhotbah kulit hitam yang bertemu dengannya di London - dan bagaimana ia telah menginjili bangsanya dan membuahkan pekerjaan-pekerjaan Tuhan yang besar di sana. Dan pengkhotbah tersebut adalah anak kecil yang beberapa puluh tahun lalu ia layani, satu-satunya hasil pelayanannya selama di pedalaman Belgian Congo. "Benar-benar terjadi demikian, Ayah", katanya. "Sekarang semua orang mengenal tentang pertobatan anak kecil itu. Dan kisahnya telah dimuat di semua surat kabar."

Mendadak Roh Allah turun atas David Flood - ia sadar dan tidak sanggup menahan hatinya. Air mata duka cita dan pertobatan mengalir di wajahnya - Allah telah memulihkan hidupnya.

Tak lama setelah pertemuan itu, David Flood meninggal. Dan walaupun ia telah dipulihkan untuk kembali kepada Tuhan, ia meninggalkan kehancuran. Selain Aggie, ia meninggalkan 5 anak, semuanya tidak bertobat dan tragisnya : mereka memiliki hati yang dipenuhi kekecewaan dan kepahitan.

Aggie menulis seluruh cerita ini. Meskipun ia mengerjakan usaha ini, ternyata ia terserang kanker. Tepat setelah ia menyelesaikan penulisan ini, ia kembali kepada Tuhan.

David Flood mewakili banyak orang Kristen hari ini. Mereka telah dikecewakan, patah semangat - dan kini mereka sangat kesal kepada Tuhan!

Alkitab memberi kita contoh, dalam buku Yunus. Seperti David Flood, Yunus menerima panggilan untuk menginjil dari Allah. Dan ia pergi ke Niniweh untuk menyampaikan pesan penghakiman dari Allah yakni : Kota itu akan dihancurkan dalam waktu 40 hari karena dosa-dosa penduduknya.

Setelah ia menyampaikan pesan tersebut, Yunus duduk di atas sebuah bukit, sambil menunggu saatnya Allah melakukan penghancuran tersebut. 40 Hari telah berlalu, namun tidak terjadi apapun. Mengapa ? Niniweh bertobat - dan Allah membatalkan rencana untuk membinasakan mereka.

Hal ini mengesalkan Yunus. Ia berseru, "Tuhan, Kau telah mengkhianatiku! Kau menaruh beban di hatiku untuk datang ke sini dan mengkhotbahkan penghakiman. Semua orang di Israel mengetahui hal ini. Tetapi sekarang Engkau mengubah segala sesuatu tanpa memberitahu aku. Aku nampak seperti nabi palsu!"

Yunus duduk di bawah sinar matahari terik - penuh kejengkelan kepada Allah! Walaupun demikian, dalam kemurahanNya, Allah menumbuhkan sebuah tanaman untuk menaungi Yunus dari terik matahari: "... agar ia terhibur daripada kekesalan hatinya ... (Yunus 4:6).

Kata "kekesalan hati" di sini berarti "ketidak-senangan, kekecewaan." Artinya, Yunus merasa kesal dan kecewa karena segala sesuatu tidak berjalan seperti yang diperkirakan. Allah telah merubah jalanNya - akibatnya kebanggaan hati Yunus terluka!

Inilah yang sering menjadi penyebab awal timbulnya amarah kepada Tuhan, - yaitu kekecewaan. Tuhan dapat saja memanggil kita, menaruh beban dalam hati kita untuk melayani dan mengutus kita untuk suatu tugas - namun ia dapat melakukan perubahan tanpa menyertakan kita dalam rencanaNya yang berdaulat. Kemudian, jika sesuatu tidak berjalan seperti yang kita rencanakan, kita merasa kehilangan arah dan dikhianati.

Pada titik ini, Allah memahami jeritan penderitaan dan kebingungan kita. Bagaimanapun juga seruan kita bersifat manusiawi. Ini tidak berbeda dengan seruan Yesus di atas salib: "Bapa, mengapa Engkau telah meninggalkan Aku?"

Tetapi jika kita memelihara perasaan kesal tersebut, hal itu akan berubah menjadi suatu amarah dalam diri kita. Dan Allah akan menanyakan pertanyaan yang sama yang juga diajukan kepada Yunus: "Layakkan engku marah ..." (ayat 9). Dengan perkataan lain: "Apakah engkau menganggap engkau berhak untuk marah?"

Yunus menjawab, "Selayaknyalah aku marah sampai mati!". Nabi ini sudah begitu sakit hati, jengkel dan sangat marah kepada Tuhan hingga ia berkata, "Aku tidak peduli apakah aku hidup atau mati! Pelayananku adalah kegagalan. Semua penderitaan yang telah kualami sia-sia. Apa gunanya tinggal dalam perut ikan 3 hari dan 3 malam? Allah telah merubah segalanya. Aku memiliki hak untuk marah kepadaNya!"

Banyak orang Kristen seperti Yunus - mereka merasa berhak untuk marah kepada Tuhan. Mereka berpikir, "Saya dengan setia berdoa, membaca Alkitab dan menaati FirmanNya. Namun, mengapa semua masalah ini menimpa saya? Mengapa bukannya berkat yang telah Ia janjikan yang saya peroleh! Tuhan telah mengabaikan saya.

Bahaya terbesar bila kita terus tinggal dalam kemarahan dan kejengkelan kepada Tuhan adalah jika kita terbawa hingga taraf dimana kita sudah tidak dapat lagi dihiburkan.

Adalah mungkin bagi saudara untuk mencapai titik dimana saudara sudah tidak mampu merasakan jamahan, yaitu dimana tak seorangpun dapat menghibur hati saudara lagi.

Yeremia menulis: " ... Di Rama terdengar ratapan, tangisan yang pahit sedih: Rahel menangisi anak-anaknya, ia tidak mau dihibur karena anak-anaknya, sebab mereka tidak ada lagi." (Yeremia 31:15).

Pada saat Yeremia menuliskan ini, Israel sedang berada dalam penawanan bangsa Asyur. Tempat tinggal mereka telah dibakar dan dihancurkan dan semua kebun anggur mereka menjadi sia-sia. Yerusalem telah menjadi reruntuhan. Yang ada hanyalah reruntuhan dan puing. Maka Yeremia menggunakan Rachel - yaitu nenek moyang Israel yang menggambarkan seseorang yang sedang menangis, penuh keputusasaan ketika melihat anak-anaknya diambil darinya, sehingga tidak ada seorangpun yang dapat menghibur hatinya.

Pada intinya, Yeremia menyampaikan bahwa dukacita Israel telah berubah menjadi kekecewaan - kekecewaan yang tidak dapat dihiburkan! Yeremia tidak mampu untuk menolong mereka; bahkan tidak ada gunanya lagi untuk berusaha berbicara kepada mereka. Mereka berpikir bahwa, Allah telah mengijinkan penawanan dengan tujuan untuk menghancurkan mereka - sehingga mereka berhak bersikap pahit kepadaNya.

Bahaya yang dapat timbul: Jika kita terus mempertanyakan dan berkeluh kesah terlalu lama, hal ini akan berubah menjadi kejengkelan. Kemudian kejengkelan ini akan berubah menjadi kepahitan dan kekecewaan. Akhirnya, kepahitan akan berkembang menjadi kemarahan. Pada taraf ini kita sudah tidak mau menerima teguran. Firman Tuhan sudah tidak mempan. Dan tak seorangpun - baik teman, pendeta, ataupun pasangan hidup kita - yang mampu menjangkau kita. Kita menutup telinga terhadap suara RohKudus!

Firman Tuhan mengatakan masih ada harapan! "Beginilah firman Tuhan: Cegahlah suaramu dari menangis, dan matamu dari mencucurkan air mata, sebab untuk jerih payahmu ada ganjaran, demikianlah firman Tuhan; mereka akan kembali dari negeri musuh." (Yeremia 31:16). Dengan perkataan lain: "Berhentilah menangis - berhentilah mengeluh. Aku akan memberi ganjaran atas kesetiaanmu!"

"Karena itu, saudara-saudaraku yang kekasih, berdirilah teguh, jangan goyah, dan giatlah selalu dalam pekerjaan Tuhan! Sebab kamu tahu, bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia." (1 Korintus 15:58). Saudara-saudara yang kekasih, air mata dan doa-doamu tidak sia-sia! Segala penderitaan dan air mata yang dialami memiliki suatu tujuan.

Tuhan memberitahu anda, "Engkau mengira semuanya telah berakhir. Engkau hanya melihat keadaanmu - kegagalan, kehancuran, dan tanpa hasil. Sehingga engkau berkata, 'Semua telah berakhir.' Tetapi Aku berkata bahwa ini adalah permulaan! Aku tahu pahala yang akan kuberikan kepadamu. Aku memiliki hal-hal yang baik untukmu, yaitu hal-hal yang sangat indah dan ajaib. Karena itu, berhentilah menangis!"

Orang suci, ijinkan Roh Allah untuk menyembuhkan semua kepahitan, amarah dan kemarahanmu - sebelum semuanya itu menghancurkanmu! Engkau mungkin hanya melihat kehancuran dalam hidupmu - namun Ia melihat suatu pemulihan (restorasi)! Ijinkan Ia memulihkan engkau sekarang dari semua reruntuhan yang mengelilingimu. Ia hanya memikirkan hal-hal yang baik tersedia untukmu - sebab " ... bahwa Allah memberi upah kepada orang yang sungguh-sungguh mencari Dia." (Ibrani 11:6). Halleluyah!

Indonesian